//
archives

Jawa Timur

This tag is associated with 2 posts

Menjaga Warisan Mbah Hasyim Asy’ari

Oleh: H. Salahuddin Wahid

Mbah Hasyim Asy’ari atau al-maghfurlah KH. M. Hasyim Asy’ari adalah salah satu dari sedikit “raksasa” Indonesia. Warisan yang ditinggalkan adalah kitab-kitab karya beliau, Pesantren Tebuireng, dan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’. Kitab-kitab beliau sudah mulai diterjemahkan dan diterbitkan serta beredar dalam lingkungan terbatas. Perlu upaya khusus untuk memperluas peredaran buku-buku karya beliau.

Jam’iyah NU telah berkembang menjadi organisai Islam terbesar di Indonesia, tetapi kita harus berani mengakui bahwa NU bukan organisasi Islam terkuat. Hal itu karena secara umum mutu organisasi NU jauh dari harapan. Tentu ada cabang NU yang baik, khususnya di Jawa Timur tetapi secara umum organisasi NU perlu perbaikan khusus. Beberapa PCNU dan PWNU hanya menjadi alat dari pimpinannya. Kalau tidak ada upaya serius dalam perbaikan organisasi NU, kekuatan dan perannya akan semakin menurun.

Warisan tertua Mbah Hasyim ialah Pesantren Tebuireng yang didirikan pada 1899. Walaupun bukan pesantren tertua dan bukan pesantren terbesar, Tebuireng adalah pesantren yang amat terkenal. Hal itu terjadi karena “keraksasaan” Mbah Hasyim. Juga karena prestasi para alumni Tebuireng dan keturunan Mbah Hasyim.

Sejumlah alumni yang menonjol berhasil membangun pesantren besar, antara lain Lirboyo, Ploso Mojo, Blok Agung, Denanyar. Keturunan Mbah Hasyim yang amat menonjol ialah KH. A. Wahid Hasyim dan KH. Abdurrahman Wahid. Masih ada pesantren lain dan keturunan lain dari Mbah Hasyim yang menonjol. Pasti ada faktor yang membuat sejumlah pesantren dan sejumlah keturunan Mbah Hasyim itu menonjol. Faktor itu adalah karakter dari alumni dan dzurriyyah Mbah Hasyim tersebut di atas.

Pesantren Tebuireng ternyata kurang bisa menghadapi tantangan jaman. Selama ini Pesantren Tebuireng terlalu terlena oleh nama besar Mbah Hasyim, tanpa mau menyadari bahwa mutunya jauh dibawah mutu Pesantren Tebuireng saat Mbah Hasyim masih sugeng. Dalam beberapa tahun terakhir Pesantren Tebuireng menyadari masalah itu dan mencoba memperbaiki.

KH. M. Yusuf Hasyim memprakarsai berdirinya Ma’had Aly (pesantren tinggi) pada 2006. Pada 2008 didirikan kembali Madrasah Mu’allimin yang dimaksudkan untuk mencetak ulama dimaksudkan untuk mencetak ulama masa depan. SMP, SMA, MTs dan MA membenahi diri dan secara perlahan peringkatnya di kabupaten Jombang meningkat. Upaya perbaikan terus dilakukan yang didasarkan pada rencana yang disusun secara berkala. Kami ingin dalam beberapa tahun ke depan terjadi peningkatan dalam jumlah alumni SMA dan MA diterima di perguruan tinggi negeri yang baik. Kami juga ingin tamatan Mu’allimin dan Ma’had Aly berhasil menjadi ulama yang menjadi panutan masyarakat.

Kita harus menyadari bahwa selama ini kebanyakan sekolah, madrasah dan pesantren lebih menekankan pada transfer ilmu dibandingkan pembentukan karakter. Transfer ilmu lazim kita sebut sebagai pengajaran kognitif (teaching, kognitif) dan pembentukan karakter sebagai pendidikan (afektif). Kita bersyukur bahwa Menteri Pendidikan Nasional telah memberi perhatian besar terhadap masalah pembinaan karakter terhadap anak bangsa.

Salama dua-tiga tahun terakhir Pesantren Tebuireng juga member perhatian cukup besar terhadap masalah tersebut. Kami mencoba merumuskan inti sari dari nilai-nilai pendidikan yang diwariskan oleh Mbah Hasyim yang tersebar dalam banyak kitab maupun pidato. Kami ringkas dalam lima butir bilai yaitu ikhlas, jujur, tanggung jawab, kerja keras, dan tasamuh.

Kelima nilai itu perlu disebarluaskan, dijelaskan secara sederhana dan ditanamkan kedalam diri para santri dan siswa dan seluruh pihak didalam Pesantren Tebuireng. Dari kelima nilai itu mungkin kata tasamuh yang belum dipahami oleh kebanyakan orang. Tasamuh mengandung pengertian lapang dada, toleran, menghargai pendapat dan hak orang lain.

Dengan menghayati dan memegang taguh kelima nilai itu dalam kehidupan sehari-hari, para alumni Pesantren Tebuireng akan siap untuk menghadapi tantangan kehidupan. Untuk itu kami harus belajar bagaimana cara terbaik menanamkan nilai-nilai itu kedalam diri anak didik. Dengan menanamkan kelima nilai itu secara tepat selama tiga enam tahun, kami yakin kami telah mendidik para siswa, bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu lainnya.

*Majalah Tebuireng, edisi 17 2011

Sumber: http://www.tebuireng.net/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=219

Biografi KH Ihsan Muhammad Dahlan Pengarang Siroj al-Tholibin

Masa remaja hobi judi dan wayang. Semalam suntuk harus ditemani kopi dan sigaret. Namun dari sanalah lahir kitab tasawuf yang menjadi acuan di banyak negeri.

Bakri menyuruh kawan-kawannya menyingkir. Di lokasi perjudian itu, kawan-kawan Bakri sudah bermain beberapa putaran. Tapi sial, mereka kalah. Uang menipis. Hanya tersisa untuk satu kali permainan. Maka begitu Bakri datang, ia segera mengambil alih, kawan-kawannya dimintanya minggir untuk menyaksikan saja.

Karena Bakri sudah berpengalaman, dalam permainan kali ini pun mudah saja buat Bakri meraih kemenangan. Dan betul, Bakri menang. Uang hasil meja judi itu dia bagi-bagikan ke kawan-kawan yang kalah tempur tadi. Masing-masing dia beri sejumlah uang yang telah ludes di tempat adu untung itu.

Kegemaran Bakri berlaga di medan judi terus berlanjut meski Bakri adalah putra seorang kiai, dan tinggal di dalam pesantren. Bakri tak lain adalah nama kecil KH Ihsan Muhammad Dahlan asal Jampes, Kediri, Jawa Timur. Dia lahir pada 1901 dan meninggal pada 15 September 1952. Siraj al-Thalibin, kitab karangannya yang merupakan komentar atas Minhaj al-Abidin karya sufi besar Imam al-Ghazali, hingga sekarang menjadi bacaan rutin di pesantren-pesantren Nusantara, bahkan di sejumlah negeri mancanegara.

Tapi, memang begitulah Kiai Ihsan remaja yang waktu itu masih menyandang nama Bakri. Bakri sangat hobi sekaligus jago dalam hal judi-menjudi. “Ia sangat mahir,” tulis Busro Abd. Mughni dalam Syekh Ihsan Muhammad Dahlan terbitan tahun 1982. Hobi Bakri ini tak ayal membuat Ny. Istianah, sang nenek, jengkel bukan kepalang. Ny. Istianah tak henti-henti menasehati dan memarahi Bakri setiap kali mendapatkannya pulang bermain dengan kawan-kawannya.

Dasar bandel, Bakri tak menghentikan hobinya itu. Mau tak mau Ny. Istianah harus memikirkan cara ampuh untuk membuat sang cucu kapok. Ny. Istianah pun mendapat gagasan: mengajak Bakri berziarah ke makam leluhur. Dalam silsilah keluarga, Ny. Istianah adalah cucu Kiai Yahuda, yang terhitung masih keturunan Panembahan Senopati pendiri kerajaan Mataram. Makam Kiai Yahuda ada di Desa Nogosari, Lorog, Pacitan, Jawa Timur.

Ke sanalah kemudian Bakri dibawa sang nenek. Bersama KH Dahlan (ayah Bakri) dan KH Khazin (paman Bakri), Ny. Istianah menghadapkan Bakri pada makam “Mbah Yahuda”. Di sana, Ny. Istianah berdoa kepada Allah dengan perantaraan (wasilah) orang-orang suci agar jalan keluar segera diperoleh.

Begitu sungguh-sungguhnya Ny. Istianah memanjatkan permintaan, hingga salah satu doanya berbunyi demikian, “Apabila Bakri ini tidak dapat berhenti atau menghentikan segala kenakalannya, maka kami minta kepada Allah untuk mengambilnya saja sekarang ini, jangan beri ia umur panjang.” Ekstrem mungkin. Namun ada efeknya juga bagi Bakri. Beberapa hari selepas ziarah, Bakri bemimpi didatangi seorang kakek lanjut usia.

“Wahai cucuku, sanggupkah engkau menghentikan segala perbuatanmu yang tercela itu?” kata sang kakek sembari menenteng sebuah batu besar yang kemudian diarahkan ke atas kepala Bakri. “Jika engkau tidak sanggup maka batu ini akan menghancurkan kepalamu?”

“Ada hubungan apa saya dengan kakek?” timpal Bakri. “Terus atau berhenti, semua itu adalah urusan dan tanggung jawab saya sendiri. Tak seorang pun berhak mempersoalkannya.”

Bum!!! Batu itu pun dilepaskan sang kakek, dan mengena tepat di kepala Bakri. Tak pelak, hancurlah kepala Bakri, semua isi kepalanya terburai. Seketika Bakri terbangun, berucap istigfar berulang-ulang. Bakri lalu lari menuju kamar sang nenek,, dan melaporkan mimpinya itu.

Semenjak itu, Bakri berjanji untuk menyetop kesenangannya bertempur di papan permainan adu nasib. Ya, bukan hukuman cambuk ternyata yang bikin Bakri jera. Bakri dibuat kapok hanya setelah mengalami dua peristiwa: ziarah makam leluhur dan mimpi.

KIAI IHSAN REMAJA alias Bakri masih punya hobi lain selain judi. Dan kecanduan Bakri terhadap kegemaran ini pun tak kalah tinggi kadarnya. Yaitu, wayang. Di daerah mana pun ada pertunjukan wayang, Bakri senantiasa tak pernah absen menonton. Dalang pemula maupun dalang terkenal, tak dia pilih-pilih, semua dia saksikan. Sampai-sampai dia paham betul jalan cerita dan karakter tokoh dunia pewayangan. Bakri juga mengoleksi anak-anak wayang sembari sesekali melakonkannya di depan teman-teman sendiri laiknya dalang profesional.

Saking hafalnya cerita-cerita pewayangan, Bakri tahu betul jika ada dalang yang lakonnya menyalahi aturan. Pernah suatu ketika Bakri memprotes seorang dalang asal desa sebelah, Gampengprejo. Bakri melihat lakon si dalang keluar pakem. Bakri langsung menegur si dalang, padahal pertunjukan sedang berlangsung. Dalang menyangkal. Terjadilah debat. Tapi kemudian, karena sadar sedang live, mereka sepakat menunda perdebatan usai pertunjukan.

Kehidupan Kiai Ihsan remaja memang penuh warna-warni lokal yang khas, dan itu tak mengurangi kedalamannya dalam mengulas persoalan agama. Kitabnya Siraj al-Thalibin mendapat apresiasi tinggi umat Islam di berbagai negara. KH Sulaiman Faqih, seorang kiai asal Banjar, Jawa Barat, mendapat sebuah kisah tentang kesohoran karya Kiai Ihsan. Waktu itu Kiai Sulaiman sedang melakukan ibadah haji di Mekah, dan bertemu dengan H Muhsin, seorang sahabatnya asal Singapura.

H Muhsin bercerita bahwa dia baru saja bertemu dengan seorang tua dari Mesir. H Muhsin mengenakan kopiah hitam, seperti kebanyakan kopiah yang dipakai orang Indonesia.

“Anda dari Jawa?” tanya orang tua dari Mesir itu.

“Bukan. Saya dari Singapura, sebelah Jawa,” jawab H Muhsin.

“Kenalkah Anda dengan Syekh Ihsan Jampes, pengarang Siraj al-Thalibin?”

“Oh, kenal dan tahu benar saya dengan pengarang kitab itu. Sebab antara tahun 1935 sampai 1945 saya belajar di hadapan pengarang kitab tersebut.”

Orang tua dari Mesir itu langsung merangkul dan mencium H Muhsin. “Ahlan wa sahlan. Berbahagialah saya, bertemu dengan saudaraku yang saleh, murid muallif (pengarang) Siraj al-Thalibin.

KARYA Kiai Ihsan begitu dikenal di berbagai negeri, tapi Kiai Ihsan sendiri sebenarnya bukanlah tipe seorang pelancong, yang sering melakukan kontak dengan berbagai jaringan ulama lintas negara. Berbagai ilmu pengetahuan agama yang dimiliki Kiai Ihsan atawa Bakri pun diperolehnya melalui belajar dari pesantren ke pesantren di bumi Jawa. Mula-mula, Bakri hanya memperoleh pendidikan agama melalui keluarga, terutama nenek dan ayahnya. Tapi kemudian dia menjelajahi berbagai pesantren.

Pesantren pertama yang disinggahi Bakri adalah pesantren Bendo, Pare, Kediri. Pesantren ini diasuh oleh pamannya sendiri, KH Khazin. Setelah beberapa waktu, Bakri pindah ke pesantren Jamsaren, Salatiga, Jawa Tengah. Kemudian juga pesantren KH Dahlan, Semarang, Jawa Tengah; pesantren Mangkang, Semarang; pesantren Pundun, Magelang, Jawa Tengah. Begitu pula, dia singgah di pesantren Gondanglegi, Nganjuk, Jawa Timur, untuk belajar Ilmu Arudh (ilmu tentang syair), dan pesantren Bangkalan, Madura asuhan KH Khalil guna mendalami Ilmu Nahwu dan Sharaf (ilmu gramatika bahasa Arab).

Hampir setiap tinggal di pesantren, Bakri tak betah lama. Paling-paling cuma satu-dua bulan. Di pesantren Bangkalan, misalnya, dia hanya sanggup tinggal dua bulan. Di pesantren Jamsaren, cuma satu bulan. Nah, yang lebih singkat lagi di pesantren KH Shaleh Darat, Semarang; dia hanya singgah selama 20 hari.

Di pesantren-pesantren tersebut, Bakri sepertinya hanya ingin memperolehijazah bagi kitab-kitab yang dia kehendaki. Ijazah adalah semacam restu kiai yang menandakan bahwa seorang murid sudah dianggap berhasil menyerap ilmu sang kiai terhadap suatu kitab tertentu. Tradisi ini memang sudah lama berlaku di lingkungan pesantren.

Kiai Ihsan nyaris tidak pernah melawat ke luar pulau. Kalaupun pernah, itu pun ketika dia harus melaksanakan rukun Islam kelima, haji. Yaitu pada 1926, di mana dia resmi mendapat nama H Ihsan sebagai ganti nama kecilnya: Bakri. Selebihnya, Kiai Ihsan lebih banyak tinggal mengajar di pesantren sang ayah.

Apalagi semenjak pada 1932, yakni ketika Kiai Ihsan menjadi pengasuh pesantren Jampes tersebut, semakin banyaklah waktunya dihabiskan dindalem-nya, di sebelah Sungai Brantas itu. Hari-hari Kiai Ihsan adalah mengajar, membaca, menulis. Bacaannya tidak hanya meliputi pengetahuan agama, melainkan beraneka ragam baik bacaan berbahasa Arab maupun Melayu. Kiai Ihsan suka membaca koran.

Sehari-semalam barangkali hanya beberapa jam saja yang digunakan Kiai Ihsan untuk tidur. Sebab, malam-malam, Kiai Ihsan lebih sering terjaga. Selepas mengaji, mengajar santri-santrinya, Kiai Ihsan akan langsung menuju ruangan, duduk di belakang meja, melakukan muthala’ah (meneliti kitab-kitab). Di saat seperti ini, Kiai Ihsan harus ditemani kopi dan rokok. Ini tak boleh ketinggalan meski sejumlah ulama menilai kedua hal tersebut haram atau makruh. Justru sembari menikmati minuman hitam dan tembakau itulah dari tangan Kiai Ihsan lahir karya-karya genius.

Lihatlah sejumlah kitab yang sudah ditulis Kiai Ihsan. Siraj al-Thalibin, yang disusun sekitar 1932-33 sebagai syarah atau komentar panjang atas karya Al-Ghazali, sangat dalam membahas persoalan-persoalan tasawuf. Tebalnya nyaris seribu halaman, dibagi dalam dua juz. Sebelumnya, pada 1930, Kiai Ihsan sudah menulis sebuah kitab di bidang Ilmu Falak (Astronomi) berjudul Tashrih al-Ibarat. Ini merupakan syarah atas Natijat al-Miqat karya KH Ahmad Dahlan Semarang. Tipis saja, 48 halaman.

Kiai Ihsan juga mengarang Manahij al-Imdad setebal seribu halaman lebih, serta sejumlah kitab lain, termasuk Irsyad al-Ikhwan fi Syurb al-Qahwah wa al-Dukhan. Karya yang disebut terakhir ini khusus menjelaskan posisi hukum Islam atas dua kenikmatan favorit Kiai Ihsan: kopi dan rokok. Setebal 53 halaman. Disusun dengan sistem nazhaman (syair).

Melalui kitab tersebut, barangkali Kiai Ihsan mau berargumen mengapa ia tetap ngopi dan ngerokok, malah terkesan dia enggan meninggalkan keduanya. Namun, nyatanya Kiai Ihsan sekadar memetakan ulama yang melarang dan yang membolehkan.

Ulama yang mengharamkan kebanyakan beralasan, “Itu berbahaya,mudhirrah.” Sementara, ulama yang membolehkan punya argumen. “Tidak berbahaya, justru membuat tubuh lebih segar dan giat.”

Kiai Ihsan betul-betul tidak memberikan keputusan tegas mengenai argumen mana yang lebih kuat. Hanya, dalam kehidupan sehari-hari, setiap malam hingga fajar, di sebelah timur Sunga Berantas itu, sembari memelototi deretan huruf di atas lembaran kertas kuning, Kiai Ihsan terus menghisap tembakau dan menyerubut kopi kental. Dan tahu-tahu, dia telah menelurkan kitab-kitab bermutu tinggi.*

Disadur dari Tahanus, Majalah Syir’ah 2005

Silaturakhim

  • 72.957 orang

Penulis